Lebaran selalu identik dengan
mudik ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga besar untuk merayakan
hari kemenangan bagi umat muslim yang telah menjalankan ibadah puasa selama
sebulan. Hal itu berlaku bagi perantau dan mahasiswi seperti kami, tentunya
liburan hari raya dimanfaatkan untuk mudik ke kampung halaman. Pengumuman libur
telah di depan mata dan disambut gembira
oleh semua mahasiswa PPG (pendidikan prosfesi guru ) Universitas Negeri
Surabaya tempat saya menempa ilmu selama satu tahun ini.
Begitu juga dengan
kami ikut merasakan kebahagiaan tersebut karena bisa libur sejenak dari
kegiatan workshop PPG, namun ada sedikit kesedihan dibenak kami dimana tradisi
mudik ke kampung halaman tidak berlaku bagi kami. Ada beberapa hal yang membuat
kami tidak bisa mudik kali ini yang pertama terkait pertimbangan keuangan yaitu
harga tiket pesawat Surabaya-Aceh selangit mencapai 2 jutaan dimusim mudik
seperti ini, mungkin ada sebagian orang menganggap kami pelit terlalu
perhitungan dengan uang dan tidak mencintai keluarga, tapi bagi kami inilah
wujud cinta dengan tidak pulang dan tidak membebankan orang tua untuk membantu
tiket pesawat, cukup melalui pesawat telpon saja. Biarlah kepahitan ini
menemani perjalanan hidup yang akan indah ketika kami ceritakan kepada anak
cucu kelak.
Yang kedua alasan kami tidak
mudik kali ini cukup menarik yaitu ingin menikmati masa lajang tahun terakhir
dengan bebas dan bisa berpetualang kemana saja yang kami mau, iya prediksinya
sih....tahun depan kami sudah tak sendiri lagi, mungkin akan berlebaran di
rumah mertua bersama sang suami hehehe !!! (tolong di aminkan buat yang membaca
ya ). Ini merupakan tahun kedua kami merasakan lebaran di perantauan, tahun
yang lalu kami berleraban di daerah pengambdian guru SM-3T yaitu Kepulauan
Anambas yang berbudaya melayu.
Setelah mendapat izin dari
keluarga kali ini kami memilih berpetualang sekaligus lebaran ke Pulau Dewata
Bali, iya kami memilih sebuah pulau yang tidak begitu jauh lagi dari Jawa
Timur. Perbedaan budaya, agama dan keindahan Bali yang membuat kami tertarik
ingin ke Bali, terlebih kami mempunyai teman mahasiswa PPG yang berasal dari
Bali dan siap menjadi tour guide selama
kami disana. Alhamdulillah kami mendapat kawan yang sangat toleransi dan
mencarikan kami tempat untuk melaksanakan shalat id ditengah mayoritas penduduk
yang beragama hindu.
Suasana shalat id di Lapangan Denpasar Barat
Alunan takbir di pagi itu tanggal
06 Juli 2016 seolah membangunkan kami dari mimpi, kalau sekarang kita sedang
dirantau dan menjalani lebaran jauh dari keluarga, aku tau kalau takbir tadi sejenak
melemahkan langkah kita, aku juga tau kalau takbir tadi membuat butiran bening
jatuh dipipimu kawan, tapi satu hal disini aku bisa berpura-pura tegar hanya
karena senyummu. Rasa haru itu kian bertambah ketika kami usai shalat id dan
pulang kerumah di sambut dengan ketupat buatan mamanya Sasri yang sengaja dibuat
untuk moment lebaran kami. Seolah-olah tahu apa yang sedang kami rasakan
mamanya juga memeluk kami sambil mengucapkan selamat idul fitri dan itu sangat
mengesankan bagi kami yang sedang merindukan keluarga.
Big
thanks untuk sahabat kami
yang di Bali Ni Wayan Sasri terimakasih
yang tak terhingga buat Sasri dan keluarganya, terima kasih juga buat sahabat
yang telah menemani pertualangan ini Syarifah Amna sang calon pengusaha sukses
dan guru yang profesional.
Ni Wayan Sasri (kiri) Fatimah Zaini (tengah) Syarifah Amna (kanan) sang calon guru profesional dan InsyaAllah mendapat gelar Gr.
0 komentar:
Posting Komentar